Bagaimana Seharusnya Media Berbicara?
Oleh Fajar Junaedi
Dalam sebuah artikel klasik yang ditulisnya pada tahun 1948 yang
berjudul The Structure and Function of Communication in Society,
Lasswell menyajikan suatu model komunikasi yang berbentuk sederhana.
Model ini sering diajarkan kepada mahasiswa yang baru belajar ilmu
komunikasi. Menurut Lasswell komunikasi dapat didefinisikan sebagai :
- Siapa (who)
- Bicara apa (says what)
- Pada saluran mana (in which channel)
- Kepada siapa (to whom)
- Dengan pengaruh apa (with what effect)
Model yang diutarakan Lasswell ini secara jelas mengelompokan
elemen-elemen mendasar dari komunikasi ke dalam lima elemen yang tidak
bisa dihilangkan salah satunya (Laswell dalam Littlejohn, 1996:334).
Model yang dikembangkan oleh Laswell ini sangat populer di kalangan
ilmuan komunikasi, dan kebanyakan mahasiswa komunikasi ketika pertama
kali belajar ilmu komunikasi, akan diperkenalkan dengan model di atas.
Sumbangan pemikiran Lasswel dalam kajian teori komunikasi massa adalah
identifikasi yang dilakukannya terhadap tiga fungsi dari komunikasi
massa. Pertama adalah kemampuan kemampuan media massa memberikan
informasi yang berkaitan dengan lingkungan di sekitar kita, yang
dinamakannya sebagai surveillance.
Kedua, adalah kemampuan media massa memberikan berbagai pilihan dan
alternatif dalam penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat, yang
dinamakanya sebagai fungsi correlation. Ketiga adalah fungsi media massa
dalam mensosialisasikan nilai-nilai tertentu kepada masyarakat, yang
dalam terminologi Laswell dinamakan sebagai transmission (Shoemaker dan
Resse, 1991 : 28-29).
Dalam perkembangannya, Charles Wright menambahkan fungsi keempat yaitu
entertainment, di mana komunikasi massa dipercaya dapat memberi
pemenuhan hiburan bagi para konsumen dengan dikontrol oleh para produsen
(Shoemaker dan Resse, 1991 : 28).
Model Lasswell telah menjadi model komunikasi massa yang melegenda dalam
kajian teori komunikasi massa. Maksudnya model Laswell telah banyak
digunakan sebagai kerangka analisis dalam kajian komunikasi massa.
Karakteristik model Laswell adalah kemampuannya mencatat bagian-bagian
yang membentuk sistem komunikasi massa dan serempak pula dapat
menggambarkan hasil-hasil yang hendak dicapai oleh komunikasi massa
melalui ketiga fungsi yang telah dijelaskan di atas.
Agenda Setting
Masyarakat yang terpelajar telah lama mengetahui bahwa media mempunyai
potensi untuk membangun wacana untuk publik. Salah satu dari penulis
pertama yang memformulasi ide ini adalah Walter Lippman, seorang
wartawan Amerika yang memiliki reputasi tinggi. Lippmann dikenal untuk
penulisan jurnalistiknya, pidatonya, dan komentar sosialnya. Lippman
menyatakan pandangan bahwa respon publik tidak kepada kejadian yang
sebenarnya dalam lingkungan, melainkan “menggambarkan di dalam kepala,”
yang dia sebut sebagai pseudoenvironment (Lippman dalam Littlejohn.,
1996 : 341).
Fungsi agenda setting dikemukakan oleh Donald Shaw, Maxwell McCombs, dan teman-teman mereka. Menurut mereka:
Bukti-bukti yang penting telah terakumulasi bahwa editor dan penyiar
memegang peran yang sangat penting dalam membentuk kenyataan sosial kita
ketika mereka menjalani tugas sehari-hari dalam memilih dan menampilkan
berita. Pengaruh media massa ini –kemampuan untuk memberi pengaruh
perubahan secara kognitif, untuk membentuk pemikiran mereka- telah
diberi label sebagai fungsi penetapan agenda dari komunikasi massa.
Di sini mungkin terletak pengaruh yang paling penting dari komunikasi
massa, kemampuannya untuk secara mental mengurutkan dan mengorganisir
dunia untuk kita. Sigkatnya, media massa mungkin tidak akan berhasil
dalam menceritakan kepada kita apa pikiran kita, namun mereka secara
besar-besaran berhasil dalam memberi tahu kita apa pikirkan (Shaw dan
McCombs dalam Littlejohn, 1996 : 341).
Agenda setting yang kedua adalah proses linier tiga-bagian. Pertama,
prioritas dari isu yang akan dibahas dalam media, atau yang dikenal
sebagai agenda media, harus ditetapkan. Kedua, agenda media dalam
beberapa cara mempengaruhi atau berinteraksi dengan apa yang publik
pikirkan, atau agenda publik. Akhirnya ketiga, agenda publik
mempengaruhi atau berinteraksi dalam beberapa cara dengan para pembuat
keputusan politik yang dianggap penting, atau agenda politik.
Dalam teori yang paling sederhana dan paling langsung, kemudian, agenda
media mempengaruhi agenda publik, dan agenda publik mempengaruhi agenda
politik. Kejadian di sepanjang akhir kekuasan Orde Baru menjadi bukti
yang nyata dari fungsi ini. Tatkala harga-harga kebutuhan pokok semakin
melejit dan nilai tukar rupiah merosot, media massa ramai-ramai
memberitakan kejadian ini.
Sebagai akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah saat itu
juga semakin menipis dan mengakibatkan pemerintahan jatuh.
Meskipun sejumlah studi memperlihatkan bahwa media dapat secara kuat
mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi agenda publik, namun ternyata
masih belum jelas apakah agenda publik sendiri tidak mempengaruhi agenda
media. Hubungan ini bisa jadi dikarenakan lebih sebagai salah satu dari
hubungan sebab akibat timbal balik daripada hubungan sebab akibat
linier (searah). Lebih jauh lagi, sepertinya kejadian aktual mempunyai
pengaruh kepada keduanya, baik agenda media dan agenda publik.
Setidaknya terdapat tiga macam pengaruh penetapan agenda. Pertama adalah
derajat seberapa media merefleksikan agenda publik, disebut sebagai
representasi. Dalam agenda representasi, publik mempengaruhi media.
Kedua, adalah dipertahankannya agenda yang sama oleh publik di semua
waktu, yang disebut persistence. Dalam agenda publik persisten, media
mungkin memiliki pengaruh yang kecil. Ketiga, terjadi ketika agenda
media mempengaruhi agenda publik, disebut sebagai persuasi. Pengaruh
jenis yang ketiga di mana media mempengaruhi publik adalah tepat seperti
yang diprediksi oleh teori agenda setting (McQuail, 2002 : 456). Ada
sebuah pertanyaan mendasar yang menarik untuk dijawab, yaitu siapa yang
pada mulanya mempengaruhi agenda media?
Media Adalah Aktor Politik
Melalui proses newsgathering dan produksi berita, audiens akhirnya
mendapatkan “akhir” artikulasi tentang apa “yang nyata” dalam urusan
politik di sepanjang waktu. Para jurnalis mengkomunikasikan kepada kita
“makna” politik (Gerstle dalam McNair,1999:73). Mereka (para jurnalis)
memasukan peristiwa dalam kehidupan politik dalam narrative frameworks
yang memungkinkan mereka disebut sebagai news stories (McNair,1999:73).
Sebuah contoh nyata adalah kekalahan Partai Konservatif di Inggris oleh
Partai Buruh, disebabkan karena krisis kepemimpinan di Partai
Konservatif dan apresiasi jurnalis terhadap Partai Buruh
(McNair,1999:74)
Dalam perkembangan kajian media sebagai aktor politik, maka para
jurnalis yang bekerja di media dapat berperan sebagai’pundit’. Istilah
‘pundit’ berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti ‘a learned person
or teacher who is not only an authority but also a renowned political
figure’ (Nimmo dan Commbs dalam McNair,1999:78). Jurnalis sebagai
pundit berarti jurnalis menjadi sumber pembentukan opini dan artikulasi
opini, agenda setting dan agenda evaluation (McNair,1999:78). Dari sini
dapat disimpulkan bahwa hal yang paling penting adalah jurnalis politik
tidaklah partisan namun kredibel (McNair,1999:78).
*********************
Penulis adalah Dosen Broadcasting – Ilmu Komunikasi UMY.
Makalah disajikan untuk Seminar Jurnalistik “Bercengkerama dengan Media”
Sekolah Jurnalistik 2010, Sabtu, 11 Desember 2010 di Ruang Sidang AR.
Fachruddin A lantai 5, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar