Nilai - nilai kearifan lokal di
masing - masing daerah kini menjadi salah satu cara untuk mengingatkan
kembali putra - putri daerah untuk kembali menanamkan nilai - nilai
tersebut disegala aspek.
Kearifan lokal di Sulawesi Selatan
sendiri kita mengenal nilai luhur Siri' na Pacce, adapun nilai tersebut
akan dijabarkan pada tulisan kali ini. Rendahnya pemahaman masyarakat
mengenai nilai Siri' na Pacce ini menjadikan masyarakat bagaikan kacang
lupa kulit, sehingga perlu ditumbuhkan kembali nilai ini dalam
masyarakat.
Dalam tulisan dari Ramli Semmawi ini nilai Siri' na
Pacce dikaitkan dengan penegakan Hukum dan Keadilan di Indonesia. Aspek
ini memang cukup sensitif dalam keseharian kita, karena kita sudah
seringkali melihat perlakuan yang tebang pilih dalam menegakkan hukum
kepada rakyat.
Lalu bagaimanakah Siri' na Pacce mempengaruhi
sikap seseorang dalam aspek Hukum dan Keadilan ini ? Mari kita simak
bersama tulisan dari Ramli Semmawi.
A. Pendahuluan
Nilai
adalah hal yang yang sangat dibutuhkan dalam setiap aspek kehidupan dan
dalam konteks hukum, nilai ini menjadi sesuatu yang menjadi landasan
atau acuan dalam penegakan hukum, nilai ini hidup dalam suatu masyarakat
dan menjadi falsafah hidup dalam masyarakat tertentu. Masyarkat Bugis
mempunyai falsafah hidup yang sangat dijunjungnya yaitu siri’ na pacce’.
Siri’
na pacce’ dalam masyarakat Bugis sangat dijunjung tinggi sebagai
falsafah dalam segala aspek kehidupan, dan hal ini juga berlaku dalam
aspek ketaatan masyakarat terhadap aturan tertentu (hukum), dengan
pemahaman terhadap nilai (siri’ na pacce’) ini sangat mempengaruhi
masyakarat dalam kehidupan hukumnya.
Dalam masyarakat, apapun
yang menjadi falsafah hidupnya, maka itu akan menjadi pengangan yang
diikuti dan sangat dijunjung tinggi olehnya. Lebih khusus lagi kesadaran
hukum masyarakat sangat ditentukan oleh perilaku hidup masyarakat
tersebut, dan dengan memegang teguh falsafah hidupnya, mereka akan taat
terhadap aturan yang dibuat dan berlaku didalamnya.
Ada hal yang
menarik dalam masyarakat Bugis dengan nilai siri’ na pacce’nya, yang
dalam masyarakat luar kadang kala diartikan berbeda dengan makna yang
sebenarnya. Ini pun terjadi dalam masyarakat Bugis itu sendiri kadang
dimaknai seperti apa yang dipahami oleh masyarakat lainnya. Yang lebih
cenderung memahami siri’ na pacce’ ini pada konotasi yang negatif penuh
kebencian dan kekerasan.
Ketika berbicara hukum, maka tidak
terlepas dari konteks hukum dimana keberadaan suatu masyarakat itu
berada, jadi ketika berbicara masalah nilai siri’ na pacce’ tidak
terlepas dari konsep penegakan hukum di Indonesia, dan telah menjadi
pengetahuan umum bahwa penegakan hukum nasional kita sangat kuat
didominasi oleh The civil law system (CIV) yaitu selalu dimulai dari
penciptaan perundang-undangan, yaitu notabene bersifat abstrak.
Sebagaimana
diketahui sistem tersebut berbeda dari The common law system (COL),
yang pada dasarnya tidak mendasarkan pada perundang-undangan abstrak,
melainkan pada penciptaan kaidah-kaidah konkret. Oleh karena itu, sistem
ini lebih mendasarkan pada keputusan pengadilan atau sistem stare
decisis.[1]
Memahami bentuk kebijakan negara dalam penegakan
hukum yang sangat formalistis legalis (menganggap undang-undanglah yang
menjadi acuan dalam penegakan hukum), maka nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat dan rasa keadilan masyarakat seringkali terabaikan demi
kepentingan kelompok tertentu yang mempunyai kekuasaan. Hal ini
dikarenakan penguasa kadangkala menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan
untuk menindas atau pun membuat kebijakan yang tidak berpihak kepada
rakyat.
Dari uraian di atas, dapat dilihat bagaimana pentingnya
keadilan dalam msyarakat untuk mencapai masyarakat adil dan makmur,
sebagaimana yang cita-cita konstitusi bangsa Indonesia, dan betapa
pentingnya memahami nilai-nilai siri’ na pacce’ dalam upaya penegakan
hukum di negeri tercinta ini. Berangkat dari asumsi ini, maka yang
menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah: Bagaimanakah nilai
siri’ na pacce’ dapat diimplementasikan sebagai panglima dalam penegakan
hukum di Indonesia ?
B. Pengertian Siri’ na pacce’
1. Pengertian siri’
Dalam
pengertian harfiahnya, siri’ adalah sama dengan rasa malu. Dan, kata
siri’ ini akan berarti harkat (value), martabat (dignity), kehormatan
(honour), dan harga diri (high respect) apabila dilihat dari makna
kulturalnya. Jadi, perlu dibedakan pengertian harfiahnya dengan
pengertian kulturalnya. Bagi orang Bugis-Makassar, pengertian
kulturalnya itulah yang lebih menonjol dalam kehidupan sehari-hari
apabila dia menyebut perkataan siri’ karena siri’ adalah dirinya
sendiri. Siri’ ialah soal malu yang erat hubungannya dengan harkat,
martabat, kehormatan, dan harga diri sebagai seorang manusia.[2]
Siri’
lebih sebagai sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk
solidaritas. Hal ini dapat menjadi motif penggerak penting kehidupan
sosial dan pendorong tercapainya suatu prestasi sosial masyarakat
Bugis-Makassar. Itulah sebabnya mengapa banyak intelektual Bugis
cenderung memuji siri’ sebagai suatu kebajikan. Mereka hanya mencela apa
yang mereka katakan sebagai bentuk penerapan siri’ yang salah sasaran.
Menurut mereka, siri’ seharusnya – dan biasanya, memang – seiring
sejalan dengan pacce’(Makassar) / pesse(Bugis).[3]
2. Pengertian pacce’
Pacce’
dalam pengertian harfiahnya berarti “ pedih “, dalam makna kulturalnya
pacce berarti juga belas kasih, perikemanusiaan, rasa turut prihatin,
berhasrat membantu, humanisme universal. Jadi, pacce’ adalah perasaan
(pernyataan) solidaritas yang terbit dari dalam kalbu yang dpaat
merangsang kepada suatu tindakan. Ini merupakan etos (sikap hidup) orang
Bugis-Makassar sebagai pernyataan moralnya. Pacce’ diarahkan keluar
dari dirinya, sedangkan siri’ diarahkan kedalam dirinya. Siri’ dan
pacce’ inilah yang mengarahkan tingkah laku masyarakatnya dalam
pergaulan sehari-hari sebagai “ motor “ penggerak dalam memanifestasikan
pola-pola kebudayaan dan sistem sosialnya.[4]
Melalui latar
belakang pokok hidup siri’ na pacce’ inilah yang menjadi pola-pola
tingkah lakunya dalam berpikir, merasa, bertindak, dan melaksanakan
aktivitas dalam membangun dirinya menjadi seorang manusia. Juga dalam
hubungan sesama manusia dalam masyarakat. Antara siri’ dan pacce’ saling
terjalin dalam hubungan kehidupannya, saling mengisi, dan tidak dapat
dipisahkan yang satu dari lainnya.
Dengan memahami makna dari
siri’ dan pacce’, ada hal positif yang dapat diambil sebagai konsep
pembentukan hukum nasional, di mana dalam falsafah ini betapa
dijunjungnya nilai-nilai kemanusiaan – berlaku adil pada diri sendiri
dan terhadap sesama – bagaimana hidup dengan tetap memperhatikan
kepentingan orang lain.
Membandingkan konsep siri’ dan pacce’ini
dengan pandangan keadilan Plato (428-348 SM) yang mengamati bahwa
justice is but the interest of the stronger (keadilan hanya merupakan
kepentingan yang lebih kuat).[5] Jelaslah kiranya bagaimana pandangan
ini dapat dijadikan acuan dalam melihat nilai keadilan dalam masyarakat,
yang seharusnya menjadi nilai yang akan dicapai dalam penegakan hukum
di Indonesia.
C. Penegakan Hukum
Penegakan
hukum pada peristiwa pelangggaran atau kemungkinan pelanggaran dan
perbuatan melawan atau kemungkinan melawan hukum, hendaknya tidak hanya
dimaksudkan sebagai mempertahankan hukum dalam arti tindakan represif
semata, tetapi mencakup juga tindakan preventif. Penegakan hukum secara
preventif dapat dilakukan denga sistem kontrol, supervisi, memberikan
kemudahan dan perhargaan (reward) bagi mereka yang menjalankan atau
mentaati hukum. Penegakan hukum dari kemungkinan terjadi pelanggaran
hukum atau perbuatan melawan hukum. Karena hal-hal yang disebut terakhir
ini (reward) termasuk penegakan hukum, maka berbagai bahan bacaan ada
yang mengategorikannya sebagai suatu bentuk sanksi.[6]
Dengan
demikian, sanksi tidak semata-mata dalam arati memberikan penderitaan
(badan, harta benda, nyawa), tetapi termasuk juga penghargaan. Sanksi
dalam arti luas ini sering disebut dengan ungkapan strik and carrot atau
punishment and reward.[7]
Penegakan hukum dilaksanakan juga oleh
kekuasaan pembuat undang-undang, dan kekuasaan eksekutif atau
administrasi negara. Di bebarapa negara, kekuasaan membuat undang-undang
berwenang menjatuhkan sanksi pada anggota yang memlanggar hukum.
Kekuasaan eksekutif dan atau administrasi negara juga menegakkan hukum
seperti wewenang mencabut izin, keimigrasian, bea cukai, pemasyarakatan
dan berbagai tindakan administatif lainnya. Seperti halnya membuat dan
menjalankan hukum, masyarakat pun berperan menegakkan hukum. Pranata
perdamaian (di desa dan di kota), mediasi di luar pengadilan,
konsiliasi, arbitrase merupakan contoh-contoh keikutsertaan masyarakat
dalam penegakan hukum diantara mereka sendiri. Demikian pula sanksi
sosial dan adat, dapat dipandang sebagai bentuk-bentuk penegakan hukum
oleh masyarakat sendiri. Namun perlu dicatat, tidak termasuk penegakan
hukum oleh masyarakat, tindakan-tindakan menghakimi sendiri
(eigenrichting) seperti yang akhir-akhir ini acapkali terjadi.[8]
D. Implementasi Nilai Filosofis Siri’ na Pacce’ dalam Penegakan Hukum dan Keadilan di Indonesia
Penegakan
hukum menjadi suatu prioritas yang harus dilaksanakan bilamana suatu
bangsa ingin menjadi lebih baik dan lebih berkeadilan pada
masyarakatnya. Melihat dari permasalahan hukum yang terjadi dalam setiap
pemerintahan suatu negara, di mana kekuasaan menjadi nomor satu dan
menafikan penegakan hukum, maka akan terjadi ketimpangan dimana-mana dan
akan terjadi pemerintahan otoriter dan bertangan besi. Akan tetapi bila
yang menjadi acuan adalah penegakan hukum maka akan terjadi keadilan
dalam masyarakat.
Di mana posisi siri’ dan pacce’ dalam penegakan
hukum ini mempunyai peranan sangat penting. Sebab, dengan memegang
teguh falsafah ini, maka siapapun akan menjadi lebih menghargai dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas akan lebih baik.
Ini dikarenakan nilai dari siri’ dan pacce’ ini bila dijalankan dengan
sebenarnya akan menjadi senjata yang ampuh dalam penegakan hukum.
Siri’
na Pacce’ bilamana dijadikan sebagai panglima dalam penegakan hukum
kita, maka didapati setiap permasalahan hukum yang ada, akan
terselesaikan dengan lebih baik dan dapat memberikan rasa keadilan yang
lebih baik pula pada masyarakat. Ini dikarenakan dari memahami makna
dari falsafah ini, maka sebagaimana yang dikemukan Andi Zainal, bahwa
siri’ identik dengan manusia, yang berarti harkat dan martabat manusia.
Kalau harkat dan martabat itu dinodai maka timbullah perasaan aib pada
orang yang dihina itu.[9] Bila hal ini dipegang teguh oleh penegak hukum
kita, maka mereka tidak akan melakukan sesuatu yang akan menjadi aib
bagi mereka.
Jadi mereka akan melakukan atau memberikan kepastian
hukum kepada pencari keadilan dengan seadil-adilnya, dikarenakan,
pertama; mereka tidak ingin mendapat siri’ (malu) dari sebuah keputusan
yang menurut rasa kemanusiaan hal itu adalah sebuah kesalahan, kedua;
mereka merasa mencederai rasa keadilan dalam masyarakat, dikarenakan
mereka telah memberikan keputusan yang salah baik di mata hukum maupun
dalam masyarakat.
Sejalan dengan pandangan di atas menarik jika
apa yang dipesankan Karaeng Matoaya kepada putranya Kareang
Pattingalloang, yang dikutip dan dimasukkan Dr. H. F. Matthes dalam buku
Makassaarsche Chrestonanthic halaman 240 sebagai berikut:
Ala
apa lakupiturungiangko, iamo anne kanaya, limpanrupaya, punna
nualleanja. Antu pokokna guak mabijaka, limai rupanna. Sekremi rupanna
punna niak nuguakang, ciniki appakna gauka. Makaruana, teako larroi
nipakaingak. Makatalunna, mamallakko ri tumalam-busuk. Makaappakna,
teako mammpilanggeri kareba, ia pilanngeri kammatojenna. Makalimanna,
iapa nusisala makukuppako.
(Tidak ada yang akan aku berikan
kepadamu, selian daripada kata-kata yang lima macam ini, sekiranya
engkau mau memperhatikannya. Adapun pokok perbuatan yang baik itu ada
lima jenisnya. Pertama, kalau engaku hendak melakukan sesuatu,
pandanglah akan ujung/akhir perbuatan itu. Kedua, janganlah engkau marah
kalau dinasehati. Ketiga, takutlah kepada orang yang jujur. Keempat,
janganlah hendaknya mendengarkan sas-sus (kabar angin), dengarkan yang
benar saja. Kelima, engaku baru berselisih, sekiranya engaku dalam
kemarahan).[10]
Satu di antara kelima jenis amanat ini yang
paling menarik perhatian dikemukakan di sini ialah amanat ketiga.
Mamallakko ri tumalambusuk! (Takutlah engkau kepada orang jujur!). suatu
amanat yang perlu mendapat perhatian dan perlu direnungkan dalam hati
setiap penegak hukum. Karena biasanya, seseorang itu takut kepada
seseorang orang lain karena kekayaannya, berhubung karena orang kaya itu
banyak uangnya. Bukankah dalam bahasa Makassar kita bertemu dengan
sebuah ungkapan yang berbunyi Tena takulle doeka (tidak ada yang tidak
dapat dikerjakan uang itu). Oleh karena itu, dalam bahasa Makassar yang
itu biasa disebut Daeng Makulle (si Sanggup). Ada pula seseorang yang
takut kepada seseorang orang lain itu karena pangkatnya. Sebab, orang
berpangkat itu memiliki kekuasaan. Tetapi, berbeda dengan apa yang
dijelaskan itu, Karaeng Matoaya justru berpesan kepada putranya supaya
takut kepada orang yang jujur.[11]
Sebagai penegak hukum dengan
tanggungjawab yang sangat tinggi dan menyangkut hidup mati seseorang,
maka melaksanakan tugas dengan penuh kejujuran merupakan sebuah
keharusan. Jujur pada diri sendiri, jujur kepada sesama manusia, jujur
kepada cita-cita, dan jujur kepada Tuhan Semesta Alam. Inilah nilai dari
pesan Karaeng Matoaya kepada putranya. Dan hal ini sangat sesuai dengan
nilai siri’ pada posisi yang sebenarnya.
Menegakkan hukum
terutama memberantas kejahatan tidak boleh ditunda-tunda, karena
kejahatan itu sendiri akan menguasai kita dan menghancurkan apa yang
ada. Apa yang terjadi di Indonesia dengan usaha penegakan hukumnya
menghadapi kendala, karena rakyat hampir-hampir tak mempercayai lagi
lembaga penegakan hukum kita. Ada hal menarik dari negara-negara
tetangga kita, seperti Mengapa Pemerintah Korea Selatan berani konsekuen
menegakkan hukum? Jawabnya, karena mereka tahu kunci menyelamatkan
negara dari ancaman kritis kewibawaan dan mengatasi krisis ekonomi,
ialah kepada rakyat harus diperlihatkan bahwa hukum berlaku tegas tanpa
diskriminasi.[12] Inilah yang seharusnya dilakukan oleh para penegak
hukum dan pemerintah kita.
Semua kegiatan di bidang hukum ini
perlu dijaga keterkaitan dan keterpaduannya. Misalnya, untuk menegakkan
keadilan bukan hanya dituntut agar hakim menjatuhkan putusan yang adil,
tetapi dalam menghadapi kasus pidana disyaratkan penyidikan yang
sempurna dan sesudah hukuman dijatuhkan yang kemudian berkekuatan hukum
tetap, diperlukan lagi pelaksanaan hukuman yang tertib sesuai dengan
bunyi vonis.
Bisa dibayangkan, apabila hasil penyidikan kurang
akurat kemudian hakim menerimanya dan dijadikannya dasar pemeriksaan di
muka pengadilan, maka hasil proses peradilan tersebut akan dapat
mengecawakan. Contoh, kasus Lingah bin Sentana dan kawan-kawannya di
Ketapang (Kalimantan Barat). Mereka ini dengan dakwaan melakukan
pembunuhan telah divonis. Bahkan, mereka sudah menjalani pidananya, yang
ternyata bukan mereka pelakunya.[13]
Dalam praktik penegakan
hukum, khususnya pemeriksaan terhadap suatu perkara pidana di muka
pengadilan, sering trjadi hal-hal yang mengejutkan. Sering pula ada
perkara yang sesungguhnya sederhana, dalam arti tidak sulit
pembuktiannya, tetapi di pengadilan dinyatakan bebas oleh hakim.
Menghadapi
peristiwa seperti ini biasanya dengan mudah saja orang terus menuduh
hakimnya tak fair dalam memutus perkara tersebut. Memang buktinya
kesalahan tertuduh. Artinya kalau jaksa penuntut umum bersungguh-sungguh
membuktikan, biasanya dapat dibuktikan kalau memang peristiwa pidana
itu terjadi.
Untuk mencapai hasil kerja yang posistif, jaksa
tersebut perlu lebih dulu memiliki kesadaran dan mental tangguh yang
tidak akan tergoyangkan oleh pengaruh yang dapat merusak kejujurannya
dalam menegakkan keadilan. Dalam dunia modern dewasa ini pengaruh
negatif cenderung semakin lebih kuat, sehingga kalau mental kita kurang
tangguh, mudah kita tergiring mengikuti hawa nafsu yang merusak keadilan
tersebut.
Untuk dapat menyelesaikan suatu perkara yang memenuhi
rasa keadilan tentulah setiap unit yang turut serta dalam penyelesaian
perkara itu berada dalam kondisi yang dapat diharapkan untuk berbuat
jujur. Tentu bukan saja hakim yang wajib memututs dengan adil, dan bukan
hanya jaksa penuntut umum yang perlu cermat dan profesional dalam
mengemban tugasnya, tetapi sejak dimulainya awal penyidikan oleh aparat
penyidik (khususnya Kepolisian) perlu terjaga kondisi agar aparat
penyidik tersebvut dapat dapat menyelesaikan tugasnya dengan cermat dan
sempurna.[14]
Untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab dari
masing-masing pihak yang menjadi penegak hukum, maka mereka harus
mempunyai siri’ dan pacce’ dan menjiwai prinsip ini. Dengan begitu apa
yang diharapkan dari penegak hukum kita dapat dicapai yaitu rasa
keadilan dalam penegakan hukum, adanya kepastian hukum dan good
government. Kepastian hukum menurut Soedikno Mertokusumo, merupakan
salah satu syarat yang harus dipernuhi dalam penegakan hukum. Menurut
Mertokusumo, kepastian hukum merupakan; perlindungan yustisiabel
terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan
dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.[15]
Dalam
penegakan hukum pun, maka seharusnya kita berusaha untuk melaksanakan
nilai pacce’ dalam pengertian menerima kembali orang yang telah
menjalani masa pidananya dan tidak menapihkan mereka dalam pergaulan
setelah lepas dari menjalani hukuman.
E. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disumpulkan sebagai berikut:
Pertama;
sebenarnya, bagi seseorang yang konsekuen dalam pendirian dan dalam
mempertegak siri’ dan pacce’, baik seorang petani, pedagang, buruh,
pegawai atau pun sebagai pejabat, kemungkinan terjadinya suatu
penyelewengan atau penyalagunaan pada bidangnya masing-masing tidak akan
terjadi.
Kedua; dengan membudayakan siri’ dan pacce’ dalam
kehidupan sehari-hari dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari
falsafah hidup Bugis-Makassar ini akan menolong orang untuk selalu
bersikap adil terhadap diri sendiri, orang di sekitarnya, dan bahkan
kepada lingkungannya.
Inilah yang menjadi pesan dari falsafah
hidup siri’ na pacce’, diharapkan bagi setiap Penegak Hukum dan seluruh
masyarakat untuk senantiasa menjunjung tingginya demi tegaknya keadilan
dan kebenaran dalam proses hukum.
Daftar Pustaka
Andi Zainal Abidin. 19999. Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan, Cet. Pertama, Hasanuddin University Press, Makassar.
Bagir Manan, 2005, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian),Cet. I, Penerbit UII Press, Yogyakarta
Baharuddin Lopa. 2002. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Cet. Kedua, Penerbit Kompas, Jakarta.
Charles Himawan, 2003, Hukum sebagai Panglima, Cet. I, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Christian
Pelras, 2006, The Bugis, diterjemahkan oleh Abdul Rahman Abu dkk,
Manusia Bugis, Cet. I, Penerbit Nalar bekerja sama dengan Forum
Jakarta-Paris, EFEO, Jakarta.
E. Fernando M. Manullang. 2007.
Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai,
Cet. Pertama, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
H. D. Mangemba,
2002, Takutlah pada Orang Jujur (Mozaik Pemikiran), Penerbit Universitas
Hasanuddin bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
M Syamsudin dkk, 1998, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, Cet. I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Catatan Kaki
[1] M Syamsudin dkk, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, Cet. I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm. 167.
[2]
H. D. Mangemba, Takutlah pada Orang Jujur (Mozaik Pemikiran), Penerbit
Universitas Hasanuddin dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm.
218-219.
[3] Christian Pelras, The Bugis, diterjemahkan oleh Abdul
Rahman Abu dkk, Manusia Bugis, Cet. I, Penerbit Nalar bekerja sama
dengan Forum Jakarta-Paris, EFEO, Jakarta, 2006. hlm. 251.
[4] Ibid. ,
hlm. 219. dan Lihat Juga, Christian Pelras, The Bugis, diterjemahkan
oleh Abdul Rahman Abu dkk, Manusia Bugis, Cet. I, Penerbit Nalar bekerja
sama dengan Forum Jakarta-Paris, EFEO, Jakarta, 2006. hlm. 252-253.
[5] Charles Himawan, Hukum sebagai Panglima, Cet. I, Penerbit Buku Kompas, Jakarta., 2003, hlm. 3-4.
[6]
Lihat, P.S. Atiyah, Law & Modern society, 1995 dalam Bagir Manan,
Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian),Cet. I, Penerbit UII Press,
Yogyakarta, 2005. hlm. 33-34.
[7] Ibid., hlm. 34.
[8] Ibid., hlm. 35.
[9]Andi
Zainal Abidin, Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan, Cet.
Pertama, Hasanuddin University Press, Makassar, 1999, hlm. 143.
[10] H. D. Mangemba, loc. cit., hlm. 189-190.
[11] Ibid.,hlm. 190.
[12]Baharuddin Lopa. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Cet. Kedua, Penerbit Kompas, Jakarta, 2002, hlm. 130.
[13] Ibid., hlm. 133.
[14] Ibid., hlm. 137.
[15]
E. Fernando M. Manullang. Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum
Kodrat dan Antinomi Nilai, Cet. Pertama, Penerbit Buku Kompas, Jakarta,
2007, hlm. 92.
http://www.gudangmateri.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar